Monday, September 5, 2016

Seminar Parenting Nabawiyah (Day 1 Part 2)



Berikut lanjutan artikel sebelumnya. Bagi yang belum membaca silakan mampir ke sini

Keselarasan antara Rumah dan Sekolah



Mengapa dari sirah nabi, yang dipilih oleh ust Budi Ashari dan tim Parenting Nabawiyah adalah 2 konsep krusial yakni pendidikan dan parenting? Karena di dua hal inilah yang sangat menjadi perhatian oleh musuh Islam, dan menjadi sumber kerusakan generasi.

Lihat siapa rujukan selama ini dalam dunia parenting dan pendidikan ataupun psikologi? Montessory, Pavlov, novel Emil, dsb >> padahal dari mereka ada yang keluarganya gagal, punya penyimpangan seksual, dll >> tidak heran bila kemudian generasi yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan. Fenomena lain saat ini. Nabi dijadikan “stempel” >> menggunakan konsep dari Barat, kemudian dicari ayat Al Qur’an dan Hadist yang sesuai.

Bandingkan konsep Islam dengan teori pendidikan saat ini, contoh : 20 karakter baik anak yaitu ingin tahu, jujur, tanggung jawab, disiplin, peduli, dsb. Di Islam, jauh lebih baik dari itu. Ibroh : Islam telah mengajarkan semua, termasuk pendidikan.

Cerita Kuttab al Fatih :

  • -          1 kelas terdiri dari 12 santri dengan 2 guru, 1 guru iman, 1 guru qur’an.
  • -          Membangun wibawa guru. Murid perlu menghormati guru. Fenomena saat ini banyak anak orang kaya yang merasa lebih berkuasa dibandingkan ayahnya, padahal itu semua harta ayahnya.
  • -          Sekolah >> lembaga yang membantu pendidikan orang tua di rumah, bukan sebaliknya. Rumah >> lembaga pendidikan pertama. Di kuttab, ada program BBO Belajar Bareng Ortu, siswa diberi pekerjaan rumah, orang tua juga diberi panduan.


Pendidikan : mencari momentum dan membangun suasana yang enak untuk memasukkan nilai Islam, cth. Ibnu Abbas diberi nasihat oleh Nabi di tunggangan menuju Madinah. Saya (ust Arief) menggunakan momentum antar anak sekolah sebagai kesempatan ngobrol berdua dengan anak.

Membangun Generasi Penakluk Roma. Hadist nabi bahwa Konstantinopel dan Roma akan takluk pada Islam. Konstantinopel telah jatuh 857H/1453M, kapan giliran Roma? Didik anak kita menjadi orang besar yang kelak menjadi/melahirkan keturunan yang akan menaklukan Roma.

Pilar utama pendidikan : Rumah! Anak bisa belajar dari mana saja, sekolah, jalan, masyarakat, tapi yang paling kuat memberikan makna adalah di keluarga. Penelitian tentang siapa yang paling berpengaruh pada anak menampakkan hasil à pengaruh sekolah 20%, lingkungan 20%, rumah 60%.

Lalu kenapa saat ini banyak ortu mengeluh,”Anak saya nakal, karena di sekolahnya berteman dengan.., karena lingkungannya...” >> Padahal seharusnya rumah-lah yang punya pengaruh paling besar. Jawabannya >> karena orang tua tidak utuh mengambil peran 60%.  Bagaimana dapat mengambil peran utuh ketika ibu keluar bada subuh pulang bada isya?

Ketiadaan ortu di rumah memberikan efek dahsyat (dalam arti tidak baik). Salah satu kisah dari ust. Arief. Saat baru pindah rumah, ada anak tetangga yang main dirumah. Anak ini usia sekitar 4 tahun , orangtuanya sama-sama bekerja. Saat meminta minum,dia bilang ke istri saya,”eh, eh, eh, aku mau minum dong, ambil.” Istri saya hanya melongo dan menjawab,”Kamu ngomong apa nak?” yang kemudian pelan-pelan ia diajarkan,”Umi, saya haus, minta tolong ambil minum.” Kemudian, ia sering datang ke rumah dan suatu hari dengan polosnya bertanya pada saya,”Abi, abi mau ga jadi abi aku?” >> pertanyaan polos dari seorang anak yang “kehilangan” sosok orang tua di rumahnya. Jangan sampai anak kehilangan sosok orang tua

Gadget >> jauhkan ini dari anak. Orang tua ada yang bertanya pada saya,”Ustadz, gimana ini anak saya kecanduan gadget?”. Saya jawab,”Dulu tanya ke ustadz ga pas pengen kasi gadget ke anak?” “Gak ustadz.” “Kalau dulu ga tanya ustadz boleh ga kasi gadget ke anak, Lalu kenapa sekarang saat ada masalah baru bertanya?” >> Mengapa ustadz dilibatkan saat sudah terjadi masalah, saat seharusnya kita bisa bertanya dulu sebelum masalah itu muncul.

Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanya yang membuat ia yahudi, nasrani, majusi. Fitrah anak >> Islam. 7 : 172. Maka seharusnya mudah mendidik anak dalam kebaikan karena memang sesuai fitrah, lalu kenapa yang terjadi sebaliknya? Ayah Bunda, jika kita punya keterbatasan ilmu dan kesholihan, jika tidak bisa menambah kebaikan anak, minimal jangan merusak fitrah itu. Apa saja hal di rumah yang berpotensi untuk merusak fitrah anak >> mulailah untuk meniadakan.

Konsep Islam itu sempurna. Saat nabi mengatakan usia, maka usia itu adalah patokan penting. Cth. suruh solat usia 7 tahun, pukul (jika tidak mau sholat) usia 10 tahun. Kenapa 7 tahun? Ini usia dimana fitrahnya keluar, anak sedang sangat bersemangat dan dekat dengan Rabbnya, ia akan banyak bertanya tentang tauhid.

Kejadian unik. Salah satu ortu anak di kuttab tanya,”Ustadz, anak saya diajarin apa, koq bilang aku mau mati?” Ternyata awalnya, di kelas diajarkan bahwa Allah Maha Pemurah dan Penyayang. Anak ini merasa Allah itu baik banget, dia punya orang tua yang baik, guru yang baik. Sampai muncul kata,”Aku pengen ketemu Allah” “Bagaimana cara ketemu Allah”,ia bertanya pada guru. “Belum bisa ketemu sekarang, nanti bertemu setelah mati.” Sampai akhirnya ia bilang ke ortunya seperti itu. Layaknya kita ketika diberi pemberian yang baik oleh orang, tentu ingin sekali bertemu orang itu dan mengucap terima kasih >> Ibrah, saat usia itu, anak sedang menggebu untuk dekat dengan Rabbnya

Potret pendidikan saat ini (1): sekolah jauh dari masjid, padahal masjid adalah setra peradaban. Yang dibangun pertama kali oleh nabi di Madinah >> masjid. Mengapa saat ini berbeda? Karena masjid belum dijadikan sentra. Rasa ‘diimami’ di masjid juga hilang. Kadang berkesan bahwa ketua dkm lebih berpengaruh dibanding imam masjid (upz). Di Arab, iqomat dikumandangkan saat imam masuk masjid. Dulu, Bilal baru akan iqomat ketika Rasul masuk masjid dan memerintahkan. Lihat ibrohnya? Imam masjid >> ia lah yang mengatur. Pilih imam yang hafidz, berilmu >> sehingga ketika ada permasalahan di umat, imam masjidlah yang menjadi rujukan >> ada rasa ‘diimami’

Potret pendidikan saat ini (2): sekolah teori tanpa praktek >> mengajarkan kurikulum bukan berdasar keimanan. Praktik agama SMA >> sholat. Apakah selama ini sholatnya siswa tidak dipercaya? Lalu, untuk soal tulis : solat berapa rakaat, tata cara seperti apa, dsb siswa dapat nilai 100, tapi bagaimana dengan praktiknya? Apa mereka segera sholat ketika mendengar adzan, apa mereka paham kenapa harus sholat?

Solusi : Sekolah harus mendekatkan hubungan dengan rumah. Cerita kuttab. Ada program untuk menilai jiwa amanah pada anak. Anak diberi uang 5000 seri sekian oleh ustadz, kemudian diminta untuk menyimpan selama seminggu lalu kemudian dikembalikan, dan tidak boleh memberitahu ke siapapun. Lalu ustadz akan memberi tahu ortu kalau anaknya diberi uang 5000 seri sekian dan ortu diminta untuk menanyakan. Ketika ortu tanya,”Dititipin apa sama ustadz?” “Ga da dititip apa-apa koq” dan kemudian anak berhasil mengembalikan uang itu pada ustadznya >> berarti ia berhasil menyelesaikan tugas dan mulai memiliki jiwa amanah.

Nasihat untuk ortu : jangan sampai urusan hafalan al fatihah dan juz 30 anak kita diserahkan ke guru >> ini adalah amal jariyah orang tua, apa rela orang lain yang mengambilnya?

Perlukah guru/les tambahan? “Hanya untuk anak-anak yang lemah dan orang tua yang tidak mengerti” (pendapat Khalid Asy Syantut-Pakar Pendidikan Islam). Bukan tidak membolehkan menjadi guru les, tapi ada adab ilmu yang tidak tercapai disana. Guru les privat datang ke rumah >> padahal salah satu adab ilmu adalah didatangi, bukan mendatangi.

Unik. Saat itu ust Budi bertanya pada orang yang punya banyak usaha les,”untuk dapat ijazah SD berapa lama waktu yang dibutuhkan?” “Cukup 3-6 bulan, nanti program belajarnya bla bla bla.” >> lalu apa yang dipelajari selama 6 tahun? Cerita kuttab (setaraf SD). Anak diajar untuk menghafal al Qur’an 7 juz, kemudian menjelang ujian nasional, 3-6 sebelumnya baru akan ada program khusus untuk UN. Di madrasah (setaraf SMP SMA). Tahun pertama anak diajar untuk menghafal 23 juz selanjutnya, kemudian menghafal 1600 hadist kitab Bulughul Maram. Seperti ulama terdahulu >> kaidah ilmu adalah dihafal. Output yang diharapkan à mereka akan siap menikah diusia dini >> karena mereka telah baligh

Libur sekolah bukan tidur dan bermain saja. Jangan sampai kontra produktif. Mendidik anak sejatinya memberi nilai yang lebih baik untuk kehidupan dunia dan akhiratnya. Saat anak panas sampai 39 C ortu akan panik. Bagaimana jika melihat anak terancam kondisinya (dekat api neraka) di akhirat nanti? Tentu lebih panik >> Ibroh : jangan mudah “merasa kasihan” dan putus asa untuk sebuah kebaikan.

Agenda libur. Boleh nambah waktu tidur (tapi sedikit). Hindari waktu tidur yang makruh (bada subuh, bada ashar). Tiru tidur nabi : tidur awal, bangun awal. Tidur sebentar sebelum dhuhur. Tidur antara adzan pertama dan adzan kedua sholat subuh (jarak adzan pertama dan kedua sekitar 50 ayat)

Agenda libur. Boleh nambah waktu main (tapi sedikit). Ga semua anak suka main. Nabi Yahya : dan bukan untuk bermain aku diciptakan. Imam Nawawi : saat kecil ia sudah senang baca buku dan ikut kajian ulama.

Agenda libur. Tambahan kegiatan bermanfaat. Balita >> beri dialog iman. Baligh >> berikan masalah, agar ia punya kesadaran dan tanggung jawab memperbaiki masyarakat. Cerita kuttab. Liburan ada program hafalan ayat dan hadist tentang berbakti pada ortu. Jurnal harian sudah membantu ortu apa saja, dsb.

Pelajaran dari Nabi. Jika menyebut angka >> berarti penting. Jika tidak menyebut angka >> perhatikan tanda-tandanya. Cth. Islam membagi usia menjadi 2 : belum baligh dan sudah baligh. Maka tak ada fase remaja (baca : labil, pemberontak, konotasi negatif lain) dalam Islam. Jangan jadikan pembenaran,”Ah, dia kan masih remaja, mencari jati diri.” Berikan dialog ,”Nak, kamu sudah baligh.., .” >> menimbulkan efek tanggung jawab. Bukankah baligh mengandung arti : ia telah dijatuhi hukum taklif, menjadi mukallaf, dan punya tanggung jawab yang sama dengan ortu?

Jadilah teladan. Urutan pertama saat kita ingin anak kita ahli tahajjud >> jadilah ortu yang ahli tahajjud. Ayah, jadilah model laki impian >> agar anak perempuan kelak bisa mendefinisikan suami idaman dengan standar minimal ayahnya.

Cerita kuttab. Pengambilan rapot oleh kedua ortu. Ini momen kepedulian ortu pada anak, sekaligus momen diskusi ortu dan guru.

Cerita kuttab. Di awal ada proses penyerahan cemeti dari ortu ke guru. Ini proses yang ditentang oleh teori pendidikan saat ini. Padahal ada contohnya, saat sultan memberi cemeti pada guru M. Al Fatih, dan berkata,”cambuklah ia ketika tidak mau diajar.” Apa yang dilakukan guru saat Al Fatih kecil berbuat sesukanya karena merasa ia anak sultan? >> cambukan dilakukan. Pelajaran awal penting bagi Al Fatih yang kemudian menjadikan ia penakluk Konstantinopel. Ayah Bunda saat ini boleh protes dan bicara apapun, namun jebolan dari metode itu adalah al Fatih.

Hukuman dalam Islam layaknya obat bagi si sakit. Jika tidak sakit ya tidak perlu di obati. Jika tidak nakal buat apa dihukum. Obat ada dosis, jika tidak mempan maka ditingkatkan. Begitupun hukuman, dimulai dengan yang kecil, kalau tidak mempan ya ditingkatkan. Kuttab tidak melakukan pendekatan pendidikan dengan hukuman, tapi hukuman juga jangan dihilangkan dari anak2.

Jangan pernah menjatuhkan wibawa guru didepan anak ! Atau akan terjadi kiamatnya dunia pendidikan. Lakukan proses tabayun. Jangan sampai saat anak mengomel,”Guru ini galak” ortu balas mengompori,”Iya, ibu tahu guru itu emang galak, nanti ibu kasitau ke gurumu.” Karena sekolah adalah yang paling mudah “mengambil alih” peran pendidik ketika orang tua “tidak berdaya” >> janganlah dirusak wibawanya , di saat untuk membantu pun ortu tidak bisa.

Cerita ust Arief. Kadang saya membolehkan anak menginap di rumah temannya, kemudian ia minta feedback dari ortu mereka >> untuk menilai kondisi anak

Bersambung InsyaAllah setelah ini diringkas yang Day 2. Semoga bermanfaat. Untuk mengetahui parenting nabawiyah lebih lanjut, bisa jalan-jalan ke web ini

 

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 dellasgarden. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.